Retorika dan Ilusi Prabowo Tentang Antek Asing; Heroisme Palsu?

Rabu, 16 Juli 2025 17:07 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Presiden China Xi Jinping bersama Presiden Indonesia Prabowo Subianto
Iklan

Narasi antek asing yang ditujukan oleh Prabowo Subianto untuk membungkan narasi kritis kepada pihak-pihak tertentu akan mengancam demokrasi.

***

Pada peringatan Hari Lahirnya Pancasila, tepatnya 1 Juni 2025 lalu, ada yang menarik dari pernyataan Prabowo Subianto dalam pidatonya terkait narasi dan retorika “antek-asing”. Prabowo secara jelas mengatakan bahwa ada LSM dan media yang dibiayai oleh asing untuk memecah belah masyarakat. Meskipun begitu, Prabowo tidak menyebutkan secara spesifik LSM maupun media mana yang dibiayai oleh asing.

Prabowo meminta rakyat Indonesia untuk bersatu dan merapatkan barisan dalam melawan kekuatan asing. Menurutnya, antek-antek asing tidak ingin melihat Indonesia itu menjadi negara maju. Dan, cara-cara itu sudah dilakukan oleh kekuatan asing sejak zaman penjajahan dengan mengadu domba masyarakat satu sama lain.

Bukan kali pertama pernyataan Prabowo tentang kekuatan asing atau antek asing dihadapan publik. Sebelumnya, ia beberapa kali “mencolek” narasi yang serupa dalam pidatonya sejak di Pilpres 2014 dan 2019. Alih-alih menenangkan dan memupuk persatuan, pernyataan Prabowo cenderung tendesius dan menimbulkan rasa curiga satu sama lain.

Terlebih, Prabowo menyampaikan bahwa mereka yang dituduh antek asing adalah orang-orang yang mengatasnamakan demokrasi, hak asasi, dan juga kebebasan pers. Statement itu berbahaya dan bisa menjadi legitimasi orang-orang yang pro-pemerintah untuk melakukan penyerangan kepada orang-orang yang vokal terhadap kebijakan pemerintah. Di samping itu, juga menggambarkan ketidakpercayaan Prabowo terhadap sistem demokrasi yang turut menjamin nilai hak asasi dan kebebasan pers.

Heroik atau Hipokrit?

Pernyataan Prabowo terkait “antek-asing” yang tak berdasar itu membuat dirinya seolah-olah menjadi heroik. Padahal, tidak sama sekali. Hal tersebut justru menunjukan sifatnya yang hipokrit. Semenjak jadi Presiden, justru dia yang “bermesra-mesraan” dengan pihak asing yang selama ini menjadi musuh ilusinya.

Misalnya, Prabowo “menjual” program populisnya saat melakukan kunjungan ke luar negeri. Ia mencari dukungan dana untuk membiayai program MBG, makanan yang belum tentu bergizi dan sudah pasti tidak gratis. Tak hanya itu, ia menjadikan warga negaranya menjadi “kelinci percobaan” dalam uji vaksin TBC yang didanai oleh The Gates Foundation.

Jadi, apa bedanya Prabowo dengan media atau LSM yang dituduh sebagai antek asing? Prabowo menuduh ada media atau LSM yang didanai oleh asing. Begitupun juga dengan Prabowo yang program-programnya juga didanai oleh asing. Atau , jangan-jangan, antek asing itu hanya berlaku buat orang-orang yang mendapatkan dana di luar pemerintahannya?

Apa yang terjadi belakangan ini terkait narasi membangun musuh yang tidak nyata mengingatkan pola serupa seperti di masa Orde Baru. Pada masa itu, orang-orang yang kritis terhadap kekuasan Orba akan dicap atau diberi stigma sebagai komunis atau PKI. Ini lucu, karena komunis atau PKI sendiri sudah dihancurkan oleh Soeharto dan angkatan bersenjata sejak tahun 1965-an. Jadi, otomatis PKI atau kekuatan komunis tidak ada pengaruh sama sekali.

Sekarang, Prabowo melakukan hal yang sama dengan mertuanya. Ia menggunakan narasi antek asing yang bertujuan untuk mendelegitimasi individu atau kelompok yang kritis terhadap kekuasaan. Namun, tujuannya sama-sama mendegradasi kelompok yang kritis terhadap kekuasaan.

Semua orang tau dan sudah menjadi fakta publik, bahwa pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintahan Prabowo datang dari LSM, media, dan gerakan mahasiswa. Bahkan, gerakan mahasiswa dalam penolakan revisi UU TNI pun masih dianggap ditunggangi oleh kelompok asing. Alih-alih menjawab tuntutan mahasiswa secara substansial, Prabowo malah menjawab ngalor-ngidul.

Biasanya, retorika populis semacam itu banyak digunakan sama pemimpin otoriter untuk menutupi permasalahan yang riil. Alih-alih menyelesaikan permasalahan yang ada, Prabowo justru sibuk membangun musuh imajiner yang tampak membuat dirinya menjadi “juru selamat” bagi bangsa ini.

Terakhir, yang membuat Indonesia menjadi bangsa yang gagal ada banyak faktor. Dari pejabat atau elit yang korup, kebijakan yang tidak berpihak sama rakyat, birokrasi yang tidak efisien. Jadi, sebelum teriak-teriak asing terus, lebih baik ntropeksi diri. Keberpihakan ke masyarakat itu harus lewat tindakan kongkrit, bukan sekadar omon-omon semata.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Arman Ramadhan

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler